Konsep Dakwah dalam Dunia Pendidikan - Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan tauladan yang baik. Dan (jikalau kalian harus berbantah,) berbantahlah dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu Ialah yang mengetahui,barang siapa yang tersesat jalannya, dan Dia pula yang mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”(kutipan)
Kutipan di atas adalah potongan ayat Al Quran yang merupakan perintah bagi Nabi untuk berdakwah. Beberapa metode yang dianjurkan adalah dengan hikmah (dengan peristiwa-peristiwa), teladan yang baik, dan berbantah (berargumen) dengan cara yang terbaik.
Yang menarik, ketiga metode di atas juga dipergunakan dalam dunia pendidikan. Di kemudian hari ditemukan bahwa, salah satu cara yang paling efektif untuk berdakwah ialah melalui pendidikan. Karena pada hakikatnya, ada satu kesamaan mendasar antara dakwah dan pendidikan, pada keduanya berlangsung proses transfer pengetahuan. Kesamaan itu mengakibatkan lahirnya beberapa kesamaan tujuan antara dakwah dan pendidikan. Bahkan, beberapa definisi pendidikan Islam menjadikan terbentuknya kepribadian muslim sebagai tujuan akhirnya.[1]
Pendidikan dan dakwah pada hakikatnya mempunyai jangkauan makna yang sangat luas, serta dalam rangka mencapai kesempurnaannya, diperlukan waktu dan tenaga yang tidak kecil. Dalam khazanah keagamaan dikenal ungkapan minal mahdi ilal lahdi, (dari pangkuan hingga liang lahat), dan balligu ‘anni walaw ‘aayatan, (sampaikan dariku walau satu ayat).
Yang pasti, ungkapan dan pernyataan itu belum sepenuhnya kita laksanakan. Entah dengan alasan ketiadaan waktu serta kekurangan dana. Namun paling tidak, yang perlu dan harus tetap dilakukan adalah menjaga agar konsep pendidikan kita tidak lepas dari dakwah Islamiyah.
Di sini, kita akan membatasi pendidikan hanya dalam pengertian sebagai upaya mengubah pengetahuan, sikap, dan perilaku orang secara progresif dalam lembaga-lembaga formal. Karena judulnya Konsep Dakwah dalam Pendidikan, maka kita hanya akan membicarakan uraian-uraian yang bersifat kon-septual. Saya akan mengemukakan prinsip-prinsip yang melandasi dakwah Islam dalam pendidikan, dan bentuk-bentuk usaha dakwah yang mungkin dilakukan dalam bidang pendidikan. Bila ada ulasan yang sifatnya operasional, hendaknya dilihat sebagai contoh-contoh ilustratif saja.
PEMBAHASAN DAKWAH
A. Muhammad Sebagai Pendidik
Dalam dunia Islam, salah satu tokoh sentral yang paling banyak dibicarakan adalah Nabi Muhammad SAW, yang membawa ajaran ini. Mulai dari Al Quran, yang membicarakan beliau bahkan sejak kelahirannya (Baca QS 4 : 74), dan para ulama sejak zaman Khulafaaur Rasyidin hingga kini.
Tidak hanya di dunia Islam sendiri, para ahli dari barat (non Muslim) dari berbagai disiplin ilmu pun tertarik untuk membicarakan Nabi Muhammad. Sebutlah misalnya, Thomas Carlyle yang mengukur beliau dari sudut pandang “kepahlawanannya”, Marcus Dods dengan “keberanian moralnya”, Nazmi Luke dengan “metode pembuktian ajaran”, Will Durant dengan “hasil karya”, dan Michael H Hart, dengan “pengaruh yang ditinggalkannya”. Kesemua ahli non-Muslim ini, – terlepas dari pembicaraan mengenai agama – berkesimpulan bahwa Muhammad adalah manusia luar biasa.[2]
Selanjutnya, berbicara tentang pribadi Muhammad sebagai seorang pendidik, Robert L. Guillick, Jr. dalam Muhammad, The Educator, menulis :”Muhammad betul-betul seorang pendidik yang membimbing manusia menuju kemerdekaan dan kabahagiaan yang lebih besar . . . Tidak dapat dibantah lagi bahwa Muhammad sungguh telah melahirkan ketertiban dan stabilitas yang mendorong perkembangan budaya Islam, suatu revolusi sejati yang memiliki tempo yang tidak tertandingi dan gairah yang menantang . . . Hanya konsep pendidikan yang paling dangkallah yang berani menolak keabsahan meletakkan Muhammad di antara pendidik-pendidik besar sepanjang masa, karena – dari sudut pandang pragmatis – seorang yang mengangkat perilaku manusia adalah seorang pangeran di antara pendidik.”[3]
Kutipan di atas diambil dari sebuah ensiklopedia yang melukiskan Muhammad SAW sebagai Nabi, pemimpin militer, negarawan, dan pendidik umat manusia. Peranan Nabi yang bermacam-macam itu sesungguhnya bersumber dari satu peranan yang sama dan utama ; yakni da’i (Juru dakwah). Semua peranan itu bersumber dari satu tugas utama, dan karenanya menjadi tujuan akhir dari keberadaan Muhammad SAW sendiri, yaitu untuk melaksanakan dakwahnya. Sejalan dengan kutipan di atas, kita sering menisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW suatu kalimat, Liuthrijat An-naas Minal Ad-Dhulumaat Ila An-Nuur (membawa manusia dari kegelapan kepada cahaya), suatu kalimat yang dengan jelas mengungkap untuk apa sebenarnya tujuan diutusnya Nabi Muhammad di dunia ini.
“Katakanlah (olehmu Muhammad), inilah jalanku. Aku berdakwah menuju Allah, berdasarkan argumen; aku dan orang yang mengikuti aku. Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang Musyrik.” (QS 12 : 108).(kutipan)
Ayat ini merupakan salah satu ayat dalam Al Quran yang menggambarkan posisi Nabi Muhammad sebagai seorang juru dakwah. Jalaluddin Rakhmat menulis, bahwa ketika memberikan komentar tentang ayat ini, Ibnu Katsir berkata bahwa Allah ta’ala berfirman kepada Rasul-Nya SAW agar menyampaikan kepada manusia bahwa inilah jalannya yaitu cara hidupnya dan sunnahnya. Beliau berdakwah (mengajak manusia) bahwa tiada Tuhan selain Allah yang Maha Esa, dan tidak ada serikat bagi-Nya. Mengajak, menuju Allah dengan kesaksian itu adalah atas dasar keterangan, keyakinan, dan bukti. Ia dan semua pengikutnya juga menyeru juga kepada apa yang didakwahkan Rasulullah SAW, berdasarkan keterangan, keyakinan, dan pembuktian ‘aqli dan syar’ie.[4]
Sebagaimana Nabi Muhammad, pengikut-pengikutnya pun harus memandang pendidikan sebagai bagian dari dakwah yang merupakan jalan hidup mereka. Bila pendidikan diartikan secara luas sebagai upaya mengubah orang dengan pengetahuan tentang sikap dan perilakunya, sesuai dengan kerangka nilai tertentu, maka pendidikan Islam identik dengan dakwah Islam. Jadi, setiap Muslim selayaknya adalah da’i dan sekaligus pendidik. Ia menjadi saksi di tengah-tengah umat manusia tentang kebenaran Islam (Al-Hajj : 78, Al-Baqarah : 143), dan mendidik umat manusia yang lain dengan seluruh kepribadian dan perilakunya. Dengan meminjam konsep Johann Herbart (1776 – 1841), filsuf dan ahli pendidikan berkebangsaan Jerman, seorang muslim adalah Erzieher dan Miterzieher. Karena itu, Nabi Muhammad SAW, pada suatu kesempatan berkata, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyampurnakan akhlaq.”[5] Pada saat lain, beliau berkata, “Sesungguhnya Allah mengutusku sebagai muballigh,”[6] dan “Sesungguhnya aku diutus sebagai pendidik.”[7] Dalam pengertian ini, pendidikan berlangsung tanpa dibatasi ruang dan waktu.
B. Dakwah Islam dalam Pendidikan
Dr. Muhammad Javad as-Sahlani, dalam At-Tarbiyah wa at-Ta’lim fi al-Qur’an al-Karim, mendefinisikan pendidikan Islam sebagai “Proses mendekatkan manusia kepada tingkat kesempurnaan, dan mengembangkan kemampuannya..”[8] Definisi ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip dakwah Islam dalam pendidikan didasarkan pada ayat-ayat Al Quran. Adapun perinciannya sebagai berikut:
Dakwah Islam yang dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan harus membantu proses pencapaian tingkat kesempurnaan. Gambaran tentang manusia sempurna ialah manusia yang sudah mencapai ketinggian iman dan ilmu (Al Mujadalah : 11). Tingkat ini ditunjukkan dengan kemampuan melahirkan amal yang terbaik. “Dia-lah yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji kamu siapakah diantara kamu yang paling baik amalnya” (Al Mulk : 2). Sebagaimana kata iman seringkali dikatkan dengan amal saleh (lebih dari 70 kali dalam Al Quran), ilmu juga selalu diberi sifat “yang bermanfaat” (dalam hadis-hadis Nabi SAW). Pendidikan Islam harus diarahkan untuk mengembangkan iman, sehingga melahirkan amal saleh dan ilmu yang bermanfaat. Prinsip ini juga mengajarkan bahwa yang menjadi perhatian bukan kuantitas, tapi kualitas. Al Quran tidak pernah menyebutkan aktsaru amala, atau amalan katsiran, tetapi menegaskan ahsan amalan, atau amalan salihan.
Sebagai model untuk orang yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan, Islam menjadikan Rasulullah sebagai uswatun hasanah (Al Ahzab : 21). Ia dijamin Allah memiliki akhlak yang mulia (Al Kalam : 4). Ia diutus melalui perintah membaca dengan nama Allah yang menjadikan, membaca dengan mengagungkan nama Allah yang Maha Mulia, yang mengajarkan kepada manusia berbagai ilmu yang tidak diketahuinya melalui pena (Al ‘Alaq : 1-5). Muhammadlah yang berkata bahwa “Manusia yang terbaik ialah Mukmin yang berilmu. Jika diperlukan, ia bermanfaat bagi orang lain. Jika tidak diperlukan, maka ia dapat mengurus dirinya.”[9] Ia wajibkan ummatnya menuntut ilmu, seraya berkata, “Satu bab ilmu yang dipelajari seseorang lebih baik dari dunia dan segala isinya.”[10] Ia memuji orang yang berilmu sebagai orang yang paling dekat tempat duduknya dengan derajat kenabian,[11] yang tintanya ditimbang sama dengan darah para syuhada.[12] Ia memuji proses ilmu, dan mengatakan bahwa Allah memberikan ganjaran kepada semua yang terlibat di dalamnya: yang bertanya, yang ditanya, yang mendengarkan, dan yang mencintai kegiatan itu.[13] Pada saat yang sama, ia juga bersabda, “Manusia yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya,”[14] “Sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat bagi manusia lain,” “Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik amalnya.”[15] Atas dasar ini, maka dakwah dalam pendidikan harus sanggup memperkenalkan Muhammad SAW sebagai teladan, menanamkan kecintaan dan perasaan takzim terhadapnya.
Al Quran menunjukkan bahwa pada diri manusia ada potensi berbuat baik dan berbuat jahat sekaligus (As Syams : 7-8). Di banyak ayat Al Quran disebutkan potensi-potensi negatif di dalam diri manusia , seperti lemah (An Nisa : 28), tergesa-gesa (Al Anbiya’ : 37), selalu berkeluh kesah (Al Ma’arij : 19), dan sebagainya, disamping disebutkan juga bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang paling baik, dan ruh Tuhan ditiupkan kepadanya saat penyempurnaan penciptaannya (Al Hijr : 29, Shad : 72). Karena itu, dakwah Islam harus ditujukan untuk membangkitkan potensi-potensi baik yang ada pada diri terdidik, dan mengurangi potensinya yang jelek.
C. Bentuk-Bentuk Dakwah Islam dalam Pendidikan
Bentuk-bentuk dakwah Islam dalam pendidikan dapat ditarik dari dua ayat Al Quran yang berkenaan dengan tugas Nabi SAW sebagai da’i:
“Orang-orang yang mengikuti Nabi yang ummi, yang namanya mereka temukan termaktub dalam Taurat dan Injil di sisi mereka: memerintahkan yang ma’ruf, melarang yang munkar, menghalalkan yang baik, mengharamkan yang jelek, dan melepaskan beban dari mereka dan belenggu-belenggu yang memasung mereka. Maka barangsiapa beriman kepadanya, memuliakannya, membantunya, serta mengikuti cahaya yang diturunkan bersamanya, mereka itulah orang-orang yang berbahagia.”(QS 7 : 57)
“Sesungguhnya, Allah telah memberikan karunia kepada orang orang yang beriman, ketika Ia mengutus di tengah mereka Rasul dari kalangan mereka sendiri, (yang) membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah, walaupun mereka sebelumnya berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS 3 : 164, 2 : 129, 62 : 2). (kutipan)
Dari ayat pertama kita melihat ada tiga bentuk dakwah: amar ma’ruf nahi munkar, menjelaskan tentang halal dan haram, (syariat Islam), meringankan beban penderitaan, dan melepaskan umat dari belenggu-belenggu. Dari ayat kedua kita melihat adanya tiga bentuk dakwah: tilawah (membacakan ayat-ayat Allah), tazkiyah (menyucikan diri mereka), dan ta’lim (mengajarkan Al-Kitab dan Al-Hikmah). Seperti yang akan djelaskan nanti, amar ma’ruf dan nahi munkar dapat kita masukkan ke dalam tazkiyah, dan menjelaskan halal dan haram dapat digolongkan sebagai ta’lim. Dengan demikian, dakwah Islam dapat disimpulkan dengan empat bentuk: tilawah, tazkiyah, ta’lim, dan ishlah (yang Jalaluddin Rakhmat gunakan untuk menyederhanakan pengertian tentang “melepaskan beban dan belengu-belenggu”).
Secara lebih lengkap, keseluruhan konsep ini saya tuliskan sebagai berikut:
Tilawah (membacakan ayat-ayat Allah). Bentuk tilawah ini mempunyai tujuan antara lain :
Memandang fenomena alam sebagai ayat (tanda kekuasaan) Allah.
Meyakinkan diri bahwa semua ciptaan Allah mempunyai keteraturan yang bersumber dari Rabbul ‘Alamin.
Memandang bahwa segala yang ada tidak diciptakan-Nya sia-sia.
Contoh kegiatan pendidikan yang mengandung unsur tilawah ini misalnya : pembentukan kelompok ilmiah dengan bimbingan ahli, kompetisi ilmiah dengan landasan akhlak Islam, dan kegiatan-kegiatan ilmiah seperti penelitian, pengkajian, seminar, dan sebagainya.
Tazkiyah (penyucian diri). Adapun tujuannya adalah ;
Memelihara dan mengembangkan akhlak yang baik.
Menolak dan menjauhi akhlak tercela.
Ikut berperan serta dalam memelihara kesucian lingkungan (amar ma’ruf nahi munkar)
Memelihara kebersihan diri dan lingkungan.
Aplikasinya dalam kegiatan pendidikan misalnya : kelompok-kelompok usrah, riyadhah keagamaan, ceramah, tabligh, latihan kepemimpinan, dan sebagainya.
Ta’lim (pengajaran al Kitab dan al Hikmah). Maksudnya agar :
Memahami dan merenungkan Al Quran setelah membacanya.
Memahami serta merenungkan As Sunnah sebagai keterangan atas Al Quran.
Memiliki bukan saja fakta, tapi juga makna dibalik fakta, sehingga dapat menafsirkan informasi sacara kreatif dan produktif.
Contoh-contoh kegiatannya antara lain : pelajaran membaca Al Quran, diskusi/pengkajian Al Quran (di bawah bimbingan ahli Al Quran), kelompok diskusi, dan sebagainya.
Ishlah (empati terhadap sesama). Ini mempunyai tujuan :
Memiliki kepekaan terhadap penderitaan orang lain.
Sanggup menganalisis kepincangan-kepincangan sosial di sekitarnya.
Merasa terpanggil untuk membantu kelompok yang lemah.
Memiliki komitmen untuk senantiasa memihak si tertindas melawan penindas.
Selalu berupaya untuk menjembatani perbedaan faham, dan memelihara ukhuwah Islamiyah.
Pengamalannya antara lain : kunjungan ke kelompok dhuafa, kampanye amal saleh, kebiasaan bersedekah, proyek-proyek sosial, dan sebagainya.
Kutipan di atas adalah potongan ayat Al Quran yang merupakan perintah bagi Nabi untuk berdakwah. Beberapa metode yang dianjurkan adalah dengan hikmah (dengan peristiwa-peristiwa), teladan yang baik, dan berbantah (berargumen) dengan cara yang terbaik.
Yang menarik, ketiga metode di atas juga dipergunakan dalam dunia pendidikan. Di kemudian hari ditemukan bahwa, salah satu cara yang paling efektif untuk berdakwah ialah melalui pendidikan. Karena pada hakikatnya, ada satu kesamaan mendasar antara dakwah dan pendidikan, pada keduanya berlangsung proses transfer pengetahuan. Kesamaan itu mengakibatkan lahirnya beberapa kesamaan tujuan antara dakwah dan pendidikan. Bahkan, beberapa definisi pendidikan Islam menjadikan terbentuknya kepribadian muslim sebagai tujuan akhirnya.[1]
Pendidikan dan dakwah pada hakikatnya mempunyai jangkauan makna yang sangat luas, serta dalam rangka mencapai kesempurnaannya, diperlukan waktu dan tenaga yang tidak kecil. Dalam khazanah keagamaan dikenal ungkapan minal mahdi ilal lahdi, (dari pangkuan hingga liang lahat), dan balligu ‘anni walaw ‘aayatan, (sampaikan dariku walau satu ayat).
Yang pasti, ungkapan dan pernyataan itu belum sepenuhnya kita laksanakan. Entah dengan alasan ketiadaan waktu serta kekurangan dana. Namun paling tidak, yang perlu dan harus tetap dilakukan adalah menjaga agar konsep pendidikan kita tidak lepas dari dakwah Islamiyah.
Di sini, kita akan membatasi pendidikan hanya dalam pengertian sebagai upaya mengubah pengetahuan, sikap, dan perilaku orang secara progresif dalam lembaga-lembaga formal. Karena judulnya Konsep Dakwah dalam Pendidikan, maka kita hanya akan membicarakan uraian-uraian yang bersifat kon-septual. Saya akan mengemukakan prinsip-prinsip yang melandasi dakwah Islam dalam pendidikan, dan bentuk-bentuk usaha dakwah yang mungkin dilakukan dalam bidang pendidikan. Bila ada ulasan yang sifatnya operasional, hendaknya dilihat sebagai contoh-contoh ilustratif saja.
PEMBAHASAN DAKWAH
A. Muhammad Sebagai Pendidik
Dalam dunia Islam, salah satu tokoh sentral yang paling banyak dibicarakan adalah Nabi Muhammad SAW, yang membawa ajaran ini. Mulai dari Al Quran, yang membicarakan beliau bahkan sejak kelahirannya (Baca QS 4 : 74), dan para ulama sejak zaman Khulafaaur Rasyidin hingga kini.
Tidak hanya di dunia Islam sendiri, para ahli dari barat (non Muslim) dari berbagai disiplin ilmu pun tertarik untuk membicarakan Nabi Muhammad. Sebutlah misalnya, Thomas Carlyle yang mengukur beliau dari sudut pandang “kepahlawanannya”, Marcus Dods dengan “keberanian moralnya”, Nazmi Luke dengan “metode pembuktian ajaran”, Will Durant dengan “hasil karya”, dan Michael H Hart, dengan “pengaruh yang ditinggalkannya”. Kesemua ahli non-Muslim ini, – terlepas dari pembicaraan mengenai agama – berkesimpulan bahwa Muhammad adalah manusia luar biasa.[2]
Selanjutnya, berbicara tentang pribadi Muhammad sebagai seorang pendidik, Robert L. Guillick, Jr. dalam Muhammad, The Educator, menulis :”Muhammad betul-betul seorang pendidik yang membimbing manusia menuju kemerdekaan dan kabahagiaan yang lebih besar . . . Tidak dapat dibantah lagi bahwa Muhammad sungguh telah melahirkan ketertiban dan stabilitas yang mendorong perkembangan budaya Islam, suatu revolusi sejati yang memiliki tempo yang tidak tertandingi dan gairah yang menantang . . . Hanya konsep pendidikan yang paling dangkallah yang berani menolak keabsahan meletakkan Muhammad di antara pendidik-pendidik besar sepanjang masa, karena – dari sudut pandang pragmatis – seorang yang mengangkat perilaku manusia adalah seorang pangeran di antara pendidik.”[3]
Kutipan di atas diambil dari sebuah ensiklopedia yang melukiskan Muhammad SAW sebagai Nabi, pemimpin militer, negarawan, dan pendidik umat manusia. Peranan Nabi yang bermacam-macam itu sesungguhnya bersumber dari satu peranan yang sama dan utama ; yakni da’i (Juru dakwah). Semua peranan itu bersumber dari satu tugas utama, dan karenanya menjadi tujuan akhir dari keberadaan Muhammad SAW sendiri, yaitu untuk melaksanakan dakwahnya. Sejalan dengan kutipan di atas, kita sering menisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW suatu kalimat, Liuthrijat An-naas Minal Ad-Dhulumaat Ila An-Nuur (membawa manusia dari kegelapan kepada cahaya), suatu kalimat yang dengan jelas mengungkap untuk apa sebenarnya tujuan diutusnya Nabi Muhammad di dunia ini.
“Katakanlah (olehmu Muhammad), inilah jalanku. Aku berdakwah menuju Allah, berdasarkan argumen; aku dan orang yang mengikuti aku. Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang Musyrik.” (QS 12 : 108).(kutipan)
Ayat ini merupakan salah satu ayat dalam Al Quran yang menggambarkan posisi Nabi Muhammad sebagai seorang juru dakwah. Jalaluddin Rakhmat menulis, bahwa ketika memberikan komentar tentang ayat ini, Ibnu Katsir berkata bahwa Allah ta’ala berfirman kepada Rasul-Nya SAW agar menyampaikan kepada manusia bahwa inilah jalannya yaitu cara hidupnya dan sunnahnya. Beliau berdakwah (mengajak manusia) bahwa tiada Tuhan selain Allah yang Maha Esa, dan tidak ada serikat bagi-Nya. Mengajak, menuju Allah dengan kesaksian itu adalah atas dasar keterangan, keyakinan, dan bukti. Ia dan semua pengikutnya juga menyeru juga kepada apa yang didakwahkan Rasulullah SAW, berdasarkan keterangan, keyakinan, dan pembuktian ‘aqli dan syar’ie.[4]
Sebagaimana Nabi Muhammad, pengikut-pengikutnya pun harus memandang pendidikan sebagai bagian dari dakwah yang merupakan jalan hidup mereka. Bila pendidikan diartikan secara luas sebagai upaya mengubah orang dengan pengetahuan tentang sikap dan perilakunya, sesuai dengan kerangka nilai tertentu, maka pendidikan Islam identik dengan dakwah Islam. Jadi, setiap Muslim selayaknya adalah da’i dan sekaligus pendidik. Ia menjadi saksi di tengah-tengah umat manusia tentang kebenaran Islam (Al-Hajj : 78, Al-Baqarah : 143), dan mendidik umat manusia yang lain dengan seluruh kepribadian dan perilakunya. Dengan meminjam konsep Johann Herbart (1776 – 1841), filsuf dan ahli pendidikan berkebangsaan Jerman, seorang muslim adalah Erzieher dan Miterzieher. Karena itu, Nabi Muhammad SAW, pada suatu kesempatan berkata, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyampurnakan akhlaq.”[5] Pada saat lain, beliau berkata, “Sesungguhnya Allah mengutusku sebagai muballigh,”[6] dan “Sesungguhnya aku diutus sebagai pendidik.”[7] Dalam pengertian ini, pendidikan berlangsung tanpa dibatasi ruang dan waktu.
B. Dakwah Islam dalam Pendidikan
Dr. Muhammad Javad as-Sahlani, dalam At-Tarbiyah wa at-Ta’lim fi al-Qur’an al-Karim, mendefinisikan pendidikan Islam sebagai “Proses mendekatkan manusia kepada tingkat kesempurnaan, dan mengembangkan kemampuannya..”[8] Definisi ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip dakwah Islam dalam pendidikan didasarkan pada ayat-ayat Al Quran. Adapun perinciannya sebagai berikut:
Dakwah Islam yang dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan harus membantu proses pencapaian tingkat kesempurnaan. Gambaran tentang manusia sempurna ialah manusia yang sudah mencapai ketinggian iman dan ilmu (Al Mujadalah : 11). Tingkat ini ditunjukkan dengan kemampuan melahirkan amal yang terbaik. “Dia-lah yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji kamu siapakah diantara kamu yang paling baik amalnya” (Al Mulk : 2). Sebagaimana kata iman seringkali dikatkan dengan amal saleh (lebih dari 70 kali dalam Al Quran), ilmu juga selalu diberi sifat “yang bermanfaat” (dalam hadis-hadis Nabi SAW). Pendidikan Islam harus diarahkan untuk mengembangkan iman, sehingga melahirkan amal saleh dan ilmu yang bermanfaat. Prinsip ini juga mengajarkan bahwa yang menjadi perhatian bukan kuantitas, tapi kualitas. Al Quran tidak pernah menyebutkan aktsaru amala, atau amalan katsiran, tetapi menegaskan ahsan amalan, atau amalan salihan.
Sebagai model untuk orang yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan, Islam menjadikan Rasulullah sebagai uswatun hasanah (Al Ahzab : 21). Ia dijamin Allah memiliki akhlak yang mulia (Al Kalam : 4). Ia diutus melalui perintah membaca dengan nama Allah yang menjadikan, membaca dengan mengagungkan nama Allah yang Maha Mulia, yang mengajarkan kepada manusia berbagai ilmu yang tidak diketahuinya melalui pena (Al ‘Alaq : 1-5). Muhammadlah yang berkata bahwa “Manusia yang terbaik ialah Mukmin yang berilmu. Jika diperlukan, ia bermanfaat bagi orang lain. Jika tidak diperlukan, maka ia dapat mengurus dirinya.”[9] Ia wajibkan ummatnya menuntut ilmu, seraya berkata, “Satu bab ilmu yang dipelajari seseorang lebih baik dari dunia dan segala isinya.”[10] Ia memuji orang yang berilmu sebagai orang yang paling dekat tempat duduknya dengan derajat kenabian,[11] yang tintanya ditimbang sama dengan darah para syuhada.[12] Ia memuji proses ilmu, dan mengatakan bahwa Allah memberikan ganjaran kepada semua yang terlibat di dalamnya: yang bertanya, yang ditanya, yang mendengarkan, dan yang mencintai kegiatan itu.[13] Pada saat yang sama, ia juga bersabda, “Manusia yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya,”[14] “Sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat bagi manusia lain,” “Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik amalnya.”[15] Atas dasar ini, maka dakwah dalam pendidikan harus sanggup memperkenalkan Muhammad SAW sebagai teladan, menanamkan kecintaan dan perasaan takzim terhadapnya.
Al Quran menunjukkan bahwa pada diri manusia ada potensi berbuat baik dan berbuat jahat sekaligus (As Syams : 7-8). Di banyak ayat Al Quran disebutkan potensi-potensi negatif di dalam diri manusia , seperti lemah (An Nisa : 28), tergesa-gesa (Al Anbiya’ : 37), selalu berkeluh kesah (Al Ma’arij : 19), dan sebagainya, disamping disebutkan juga bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang paling baik, dan ruh Tuhan ditiupkan kepadanya saat penyempurnaan penciptaannya (Al Hijr : 29, Shad : 72). Karena itu, dakwah Islam harus ditujukan untuk membangkitkan potensi-potensi baik yang ada pada diri terdidik, dan mengurangi potensinya yang jelek.
C. Bentuk-Bentuk Dakwah Islam dalam Pendidikan
Bentuk-bentuk dakwah Islam dalam pendidikan dapat ditarik dari dua ayat Al Quran yang berkenaan dengan tugas Nabi SAW sebagai da’i:
“Orang-orang yang mengikuti Nabi yang ummi, yang namanya mereka temukan termaktub dalam Taurat dan Injil di sisi mereka: memerintahkan yang ma’ruf, melarang yang munkar, menghalalkan yang baik, mengharamkan yang jelek, dan melepaskan beban dari mereka dan belenggu-belenggu yang memasung mereka. Maka barangsiapa beriman kepadanya, memuliakannya, membantunya, serta mengikuti cahaya yang diturunkan bersamanya, mereka itulah orang-orang yang berbahagia.”(QS 7 : 57)
“Sesungguhnya, Allah telah memberikan karunia kepada orang orang yang beriman, ketika Ia mengutus di tengah mereka Rasul dari kalangan mereka sendiri, (yang) membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah, walaupun mereka sebelumnya berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS 3 : 164, 2 : 129, 62 : 2). (kutipan)
Dari ayat pertama kita melihat ada tiga bentuk dakwah: amar ma’ruf nahi munkar, menjelaskan tentang halal dan haram, (syariat Islam), meringankan beban penderitaan, dan melepaskan umat dari belenggu-belenggu. Dari ayat kedua kita melihat adanya tiga bentuk dakwah: tilawah (membacakan ayat-ayat Allah), tazkiyah (menyucikan diri mereka), dan ta’lim (mengajarkan Al-Kitab dan Al-Hikmah). Seperti yang akan djelaskan nanti, amar ma’ruf dan nahi munkar dapat kita masukkan ke dalam tazkiyah, dan menjelaskan halal dan haram dapat digolongkan sebagai ta’lim. Dengan demikian, dakwah Islam dapat disimpulkan dengan empat bentuk: tilawah, tazkiyah, ta’lim, dan ishlah (yang Jalaluddin Rakhmat gunakan untuk menyederhanakan pengertian tentang “melepaskan beban dan belengu-belenggu”).
Secara lebih lengkap, keseluruhan konsep ini saya tuliskan sebagai berikut:
Tilawah (membacakan ayat-ayat Allah). Bentuk tilawah ini mempunyai tujuan antara lain :
Memandang fenomena alam sebagai ayat (tanda kekuasaan) Allah.
Meyakinkan diri bahwa semua ciptaan Allah mempunyai keteraturan yang bersumber dari Rabbul ‘Alamin.
Memandang bahwa segala yang ada tidak diciptakan-Nya sia-sia.
Contoh kegiatan pendidikan yang mengandung unsur tilawah ini misalnya : pembentukan kelompok ilmiah dengan bimbingan ahli, kompetisi ilmiah dengan landasan akhlak Islam, dan kegiatan-kegiatan ilmiah seperti penelitian, pengkajian, seminar, dan sebagainya.
Tazkiyah (penyucian diri). Adapun tujuannya adalah ;
Memelihara dan mengembangkan akhlak yang baik.
Menolak dan menjauhi akhlak tercela.
Ikut berperan serta dalam memelihara kesucian lingkungan (amar ma’ruf nahi munkar)
Memelihara kebersihan diri dan lingkungan.
Aplikasinya dalam kegiatan pendidikan misalnya : kelompok-kelompok usrah, riyadhah keagamaan, ceramah, tabligh, latihan kepemimpinan, dan sebagainya.
Ta’lim (pengajaran al Kitab dan al Hikmah). Maksudnya agar :
Memahami dan merenungkan Al Quran setelah membacanya.
Memahami serta merenungkan As Sunnah sebagai keterangan atas Al Quran.
Memiliki bukan saja fakta, tapi juga makna dibalik fakta, sehingga dapat menafsirkan informasi sacara kreatif dan produktif.
Contoh-contoh kegiatannya antara lain : pelajaran membaca Al Quran, diskusi/pengkajian Al Quran (di bawah bimbingan ahli Al Quran), kelompok diskusi, dan sebagainya.
Ishlah (empati terhadap sesama). Ini mempunyai tujuan :
Memiliki kepekaan terhadap penderitaan orang lain.
Sanggup menganalisis kepincangan-kepincangan sosial di sekitarnya.
Merasa terpanggil untuk membantu kelompok yang lemah.
Memiliki komitmen untuk senantiasa memihak si tertindas melawan penindas.
Selalu berupaya untuk menjembatani perbedaan faham, dan memelihara ukhuwah Islamiyah.
Pengamalannya antara lain : kunjungan ke kelompok dhuafa, kampanye amal saleh, kebiasaan bersedekah, proyek-proyek sosial, dan sebagainya.
PENUTUP - Tulisan ini jelas tidak lengkap dan amat sederhana. Ia hanya berupa pengantar untuk pembahasan yang lebih serius. Dan barangkali tidak ada sesuatu yang baru. Tetapi diharapkan, kalaupun tidak melahirkan gagasan-gagasan kreatif, tulisan ini mampu mengingatkan kita semua bahwa dakwah dalam pendidikan tidaklah sesederhana yang kita duga. Pendidikan (dalam pengertian formal) disepakati sebagai bidang strategis dakwah. Yang kita perlukan ialah bagaimana membentuk pola dakwah secara naqli dapat dipertanggungjawabkan, dan secara ‘aqli dapat dilaksanakan. Karena sesungguhnya dakwah adalah tugas Nabi dan pengikut para Nabi. Berkiprah dalam dakwah (melalui pendidikan) adalah usaha besar membentuk peradaban manusia.
Dikutip dari:
As Suyuti, Jalaluddin, Al-Jami’As-Shagir, Bandung : Al Maarif, tanpa tahun.
Rahman, Afazlur, Muhammd : Encyclopedia of seerah, London : Muslim trust, 1985.
Rakhmat, Jalaludin, Islam Alternatif, Bandung : Mizan, 2004.
Shihab, Muhammad Qurais, Lentera hati, Bandung : Mizan, 2000.
Uhbiyati, nur, Ilmu Pendidikan Islam, Vol I, Bandung :Pustaka setia, 1998.
Dikutip dari kumpulan hadits (hal 7)
[1] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam 1, Bandung : Pustaka Setia, 1998, h. 9-10.
[2] Muhammad Quraish Shihab, Lentera Hati, (Bandung : Penerbit Mizan, 2000), h. 36.
[3] Afazlur Rahman, Muhammad : Encyclopedia of Seerah,( Vol I, London: The Muslim Trust, 1985), h. 206.
[4] Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, ( Bandung : Penebit Mizan, 2004), h. 114.
[5] Hadits riwayat Bukhari, al-Hakim, dan Baihaqi.
[6] Hadits riwayat Turmudzi.
[7] Hadits riwayat Ibnu Majah.
[8] Majalah At-Tauhid, No 8, Tahun II, Sya’ban, 1404 H, h. 288.
[9] Hadits riwayat al-Baihaqi.
[10] Hadits riwayat Ibnu Hibban.
[11] Hadits riwayat Abu Nu’aim.
[12] Hadits riwayat Ibnu Abdil Barr
[13] Hadits riwayat Abu Nu’aim.
[14] Hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim, dan Ibnu Hibban.
[15] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash –Shagir, Bandung : Al-Ma’arif, tanpa tahun.
Dikutip dari:
As Suyuti, Jalaluddin, Al-Jami’As-Shagir, Bandung : Al Maarif, tanpa tahun.
Rahman, Afazlur, Muhammd : Encyclopedia of seerah, London : Muslim trust, 1985.
Rakhmat, Jalaludin, Islam Alternatif, Bandung : Mizan, 2004.
Shihab, Muhammad Qurais, Lentera hati, Bandung : Mizan, 2000.
Uhbiyati, nur, Ilmu Pendidikan Islam, Vol I, Bandung :Pustaka setia, 1998.
Dikutip dari kumpulan hadits (hal 7)
[1] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam 1, Bandung : Pustaka Setia, 1998, h. 9-10.
[2] Muhammad Quraish Shihab, Lentera Hati, (Bandung : Penerbit Mizan, 2000), h. 36.
[3] Afazlur Rahman, Muhammad : Encyclopedia of Seerah,( Vol I, London: The Muslim Trust, 1985), h. 206.
[4] Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, ( Bandung : Penebit Mizan, 2004), h. 114.
[5] Hadits riwayat Bukhari, al-Hakim, dan Baihaqi.
[6] Hadits riwayat Turmudzi.
[7] Hadits riwayat Ibnu Majah.
[8] Majalah At-Tauhid, No 8, Tahun II, Sya’ban, 1404 H, h. 288.
[9] Hadits riwayat al-Baihaqi.
[10] Hadits riwayat Ibnu Hibban.
[11] Hadits riwayat Abu Nu’aim.
[12] Hadits riwayat Ibnu Abdil Barr
[13] Hadits riwayat Abu Nu’aim.
[14] Hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim, dan Ibnu Hibban.
[15] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash –Shagir, Bandung : Al-Ma’arif, tanpa tahun.